Papa, Masa Kecilku Buruk Ya?
Anak kecil mencari kesenangan dalam dunianya. Orang selalu mengatakan bahwa dunia anak-anak adalah dunianya bermain, bermain dan belajar. Mungkin jika diibaratkan, dunia anak itu seperti awan berbuntut pelangi ya? Lembut, sejuk, berwarna-warni, indah dan membuat bibir melengkung senyum. Kaki-kaki mungil mencoba menendang bola meski langkah belum apa-apa. Tangan mengangkat tinggi mencoba menangkap capung yang jauhnya tak terkira. Badan merebah diatas tanah merah menunggu omelan sang mama. Sungguh keindahan masa kecil, terkenang hingga mati.
Banyak kok yang bilang generasi 90-an itu bahagianya luar biasa. Bahkan ada buku yang memaksa kita nostalgia dengan kebahagiaan di tahun 90-an sebagai tema khusus. Mungkin karena masa kecil kita adalah masa transisi dari tradisional menuju modern. Masa dimana kita bermain bola sepak lalu pulangnya nonton Captain Tsubasa. Masa dimana menangkap capung lalu nonton Honey Bee Hutch (Hatchi) di TV7. Masa dimana nonton Saras 008 dan memperagakan adegannya di ruang TV. Sayang, saya tidak begitu senang dengan boyband waktu itu. Mereka membuatku cemburu (monyet) karena gebetan (monyet) jaman SD lebih milih Westlife (monyet) ketimbang perhatian-(monyet)-ku ke dia. Monyet!!
Tapi sadar tidak, kita termasuk generasi yang egois. Generasi yang punya masa kecil indah luar biasa tanpa mau berbagi dengan yang lebih muda. Kita terlalu asyik membahagiakan diri tanpa sadar sebelumnya bahwa nanti kita punya anak (aamiin) dan mereka akan masuk fase dimana bermain adalah wajib hukumnya. Tapi bagaimana lagi? Di usia sekarang, kita masih belum punya power untuk menentukan ini dan itu, sedangkan kondisi sudah makin parah. Generasi kita tidak bisa preventif dan nantinya akan dituntut untuk me-recovery. Bahkan itupun diragukan, karena kita sendiri kini jadi generasi "menunduk". Tunduk pada teknologi dan lupa esensi utama dari hidup. Kita sendiri seperti zombie yang menganggap layar smartphone seperti otak segar untuk dimakan. Bagaimana bisa me-recover generasi selanjutnya?
Anak kecil jaman sekarang itu aneh kalau menurut saya. Mereka berperilaku bukan layaknya anak-anak dan justru cenderung dewasa yang datang lebih awal, terlalu dini. Sedikit sekali anak sekarang yang masih nyanyi "tikus makan sabun" yang justru dulu populer di kalangan anak-remaja muda waktu itu. Tidak ada lagi acara sejenis "Tralala Trilili" ketika Agnes Monica masih culun dan jadi MC acara itu. Sekarang Agnes Monica di USA menikmati ketenarannya yang dipupuk dari masa lagu anak-anak. Dulu sih (menurut hasil observasi) anak perempuan usia SD kelas 5-6 sampai SMP seneng sama Westlife paling beli CD original dan kartu gambar atau posternya. Sekarang sih.... Duh mendadak mual!
Gadget Anak Saya Keren!
Anak usia SD tanggung saja sudah pegang BlackBerry. Bukannya iri, tapi masa sih mereka pantas pegang smartphone dengan koneksi internet dan fitur chatting yang bisa kirim berbagai jenis file? Bukan waktunya dan bukan itu fungsinya! Kenapa barang seperti itu bisa dimiliki si bocah? Alasan utamanya adalah gengsi. Bahkan anak kecil jaman sekarang sudah kenal dengan yang namanya gengsi. Duh! Berawal dari orang tua yang memang fungsinya untuk urusan bisnis, lalu menurun ke remaja yang secara fungsi 30:70 gengsi dan kemudian menurun lagi ke anak-anak yang sepenuhnya karena gengsi. Anak melihat sosok dewasa yang keren dari penampilan, maka tak heran anak adalah peniru yang hebat. Kemudian orangtua juga merasa gengsi jika anak sudah terlihat dewasa, akhirnya dibelikan. Padahal secara fungsi, nihil! Selamat, anda berhasil mencekoki anak anda dengan gengsi dan disfungsionalisme.
Anak Saya Senang Lagu Gaul!
"Anak gaul harus siap digauli", setidaknya itu bercandaan jaman SMP dulu dan ternyata menjadi kenyataan. Anak sekarang mudah sekali "digauli" dalam artian mudah diajak dan berpindah kepada pemikiran baru tanpa pertimbangan lebih lanjut. Begitu pun dengan musik yang bisa menghipnotis otak anak kita. Dulu lagu anak isinya tentang menabung, mengantre, cinta rupiah, tukang bakso dan tikus yang makan sabun. Sekarang isinya tentang cinta, selingkuh, membunuh, cenat-cenut, ciuman dan pacaran. Lirik dan nada itu bisa menjadi sugesti dan secara tidak langsung membuat anak memiliki mindset seperti lagu yang didengarkannya. Coba, anak sekarang mana tahu kalau ternyata tikus makan sabun juga kan? Generasi 90-an sih paham!
Anak Saya Sudah Bisa Pacaran Lho!
Ini pengalaman saya waktu jalan-jalan ke salah satu daerah di Jakarta ketika di warung mie ayam. Perbincangan beberapa siswi SD sekitar usia kelas 4-5:
SD1: Kamu kenapa sama si "anu"?
SD2: Kemaren dia nembak aku.
SD3: Loh, kamu bukannya masih jadian sama si Y?
SD2: Iya tapi aku terima aja, soalnya dia ganteng dan aku dijajanin terus pas istirahat.
SD1&3: Duh enaknya... Aku pengen deh pacaran sama yang kayak si Y juga.
Selanjutnya silahkan anda menyimpulkan sendiri.
Dan masih banyak lagi....
Tapi tentu kita juga tidak mau generasi seperti ini berlanjut. Bisa-bisa mereka balik menuntut dan menyalahkan kita karena merasa masa kecilnya dihancurkan. Lalu apa yang harus kita perbuat? Yang pasti adalah menjadi orangtua yang cerdas. Cerdas disini dalam artian bisa memilah apa yang kita berikan pada anak dan melihat efek jangka panjangnya. Selain itu, menyediakan lahan bermain dengan nuansa alam atau pedesaan, karena alam adalah guru yang paling bijak. Sebenarnya masih banyak lagi solusi dari kondisi anak-anak yang dewasa prematur saat ini. Hanya saja butuh perhatian lebih tentang berpikir "bagaimana mereka" bukan "bagaimana saya".
Tapi tentu kita juga tidak mau generasi seperti ini berlanjut. Bisa-bisa mereka balik menuntut dan menyalahkan kita karena merasa masa kecilnya dihancurkan. Lalu apa yang harus kita perbuat? Yang pasti adalah menjadi orangtua yang cerdas. Cerdas disini dalam artian bisa memilah apa yang kita berikan pada anak dan melihat efek jangka panjangnya. Selain itu, menyediakan lahan bermain dengan nuansa alam atau pedesaan, karena alam adalah guru yang paling bijak. Sebenarnya masih banyak lagi solusi dari kondisi anak-anak yang dewasa prematur saat ini. Hanya saja butuh perhatian lebih tentang berpikir "bagaimana mereka" bukan "bagaimana saya".
Oh iya, kalau punya anak nanti mau seperti apa mendidiknya? Kalau saya sih sebenarnya sudah ada rencana, tapi yang namanya rencana pasti tidak bisa 100% jadi kenyataan dan tentu melihat keinginan si anak tanpa harus memaksa lebih. Begini rencananya:
- Usia pra-TK tidak akan saya paksakan untuk belajar membaca atau menghitung. Usia seperti ini adalah masa belajar mengenai benar-salahnya sesuatu dan bermain tentunya.
- Menyalurkan hobi anak, terutama seni seperti musik atau melukis. Saya kurang suka ketika anak hobi bermain game sendirian di kamar tanpa sosialisasi bahkan dengan keluarga sendiri. Meskipun, dulu saya juga gamer, tapi akhirnya sadar kalau terlalu fanatik itu salah.
- Mendengarkan lagu gaul? Saya lebih senang ketika anak memainkan lagunya, bukan mendengarkan saja. Mungkin jazz atau klasik jadi pilihan yang pas.
- Tidak memaksakan anak untuk bisa berbahasa inggris. Meskipun sepertinya beberapa waktu nanti bahasa inggris akan sangat wajib, tapi tidak bisa dipaksakan untuk usia anak-anak.
- Menyediakan ruang bermain di rumah. Entah seperti apa bentuknya, yang pasti ada lahan khusus dimana anak bisa bermain dan mengeksplorasi diri. Maunya sih taman luas di belakang rumah lengkap dengan kolam ikan dan gazebo.
- Membiasakan anak untuk membaca. Tidak perlu buku berat seperti pelajaran sekolah, bahkan untuk dongeng ringan pun sudah dihitung sebagai membaca. Yang penting menjadi terbiasa.
- Menahan diri untuk memberi gadget canggih. Gadget komunikasi memang penting, tapi dibatasi sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan baik dari anak maupun orangtua. Disini kita harus pandai-pandai mempersuasi anak supaya dia tidak minder dengan teman-temannya yang ber-gadget canggih.
- Menanamkan perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Perbedaan antara konsumtif dan produktif.
- Ibadah bukan soal keharusan, tapi menjadi kebutuhan. Anak akan bisa lebih menerima jika beribadah bukan karena omelan orangtua karena tidak melakukannya.
- Cita-cita anak itu mulia. Meskipun tidak menjadi dokter, pengacara, atau manajer sebagai cita-citanya, apapun selama anak menyukainya pasti akan terwujud. Saya tidak mempermasalahkan ketika anak ingin jadi musisi atau seniman bahkan aktor sekalipun jika dia memang memiliki passion disitu.
- Nama belakang anak saya Malik untuk laki-kali dan Malika untuk perempuan. Hehehe
Sebenarnya masih banyak lagi dan hanya sebatas angan-angan. Selebihnya mungkin akan lebih menyesuaikan kondisi saja. Bagaimana kamu dengan (calon) anakmu?
Faiz Ridhal Malik