Apr 18, 2015

Hedonisme Jakarta


Mengukir jalan hidup di Ibukota yang penat dan tak pernah tidur namun selalu lumpuh, mengukir jalan hidup di Jakarta. Kota yang menjadi ibu dari semua kota, kota yang seharusnya menjadi contoh bagi semua kota. Begitu pula seharusnya dengan insan di dalamnya, insan yang mencerminkan apalah arti menjadi seorang Indonesia, negara kesatuan yang berada di belahan tenggara Benua Asia. Negara dengan adat ketimuran.

Jakarta Nightlife
Belum lama ini aku menjadi bagian karena terhisap oleh hiruk-pikuk Jakarta. Empat tahun aku menginjak kaki di tengah Pulau Jawa untuk mencari ilmu, kini lingkunganku kembali berubah. Enam bulan lamanya aku mendekam, Jakarta hampir menelanku secara utuh. Fisik, tenaga dan pikiran bahkan pola pikirku hampir saja diubahnya menjadi sebuah penyakit. Penyakit yang dielu-elukan oleh warga Jakarta yang bahkan sudah bermetastasis ke kota-kota lainnya. Penyakit ini dikenal dengan hedonisme.

Siapa bilang kebahagiaan itu sederhana? Di Jakarta ini banyak orang yang rela berdesakan dan dibuat repot untuk mengejar apa yang mereka sebut dengan bahagia. Para hedonis bekerja keras sampai harus berlangganan botol infus yang kemudian hasilnya untuk dihambur dengan jalan yang tidak pantas. Prostitusi, narkotika, minuman keras, striptease poledance atau hiburan nightclub lainnya, serta penyakit kehidupan malam Jakarta yang tidak akan ada habisnya. Ini semua ada media kegembiraan dan kebahagiaan mereka. Kebahagiaan yang mereka cari sampai tak sadar bahwa mereka telah dijebak nama tinggi alias gengsi.

Sexy dancers in Jakarta
Semua itu tidak akan pernah lepas. Sekeras apapun usaha Sang Kuasa Jakarta (pemerintah provinsi) melakukan tindakan, tak bisa dipungkiri semua itu adalah bagian dari kehidupan gemerlap kota nan egois ini. Semua orang yang dikatakan oknum baik dari penegas peraturan pun ikut merasakan nikmatnya menjadi kaum hedonis di Jakarta. Tak bisa dipungkiri juga, jalan menuju kebahagiaan itu juga menjadi uang saku bagi kota untuk terus melek mata meski lumpuh karena sulit bergerak, Kongkalikong atas nama dana semua ini dihalalkan dengan dibalik gelapnya tirai pertunjukan. Menjadi sah, menjadi lumrah.

Drugs
Aku paham bagaimana serunya menikmati house music di Dragonfly. Aku tahu bagaimana Alexis berbinar dengan bidadari-bidadari import yang siap menari di atas paha atau disebut lapdance, Bahkan spa di depan cluster rumahku saja sudah berani menawarkan sesuatu yang menarik hanya dengan tiga lembar uang merah. Tertawa, bertindak nakal, minum air yang membuatmu kepayang, menyuntikan sendiri kenikmatan melalu nadi lengan dan pada akhirnya  disedotlah isi rekeningmu hingga kau sadar harus bekerja lebih keras. Kembali engkau merasa kehilangan dan penat yang memuncak. Memaki hidup dan kembali menggapai bahagia yang kosong. Kita semua disini adalah korban. Korban nama kebesaran sebuah Ibukota. Jakarta.

Semua ini bagai lingkaran setan. Entah kapan bermula tapi tak akan ada akhirnya. tanpa disadari kita sudah masuk ke dalam lingkaran yang membutakan hati. Bergerak mengikuti logika palsu yang dibentuk lingkungan dan ketika kau ingin melepaskan diri, mereka menarikmu kembali. Begitu seterusnya dan seterusnya lalu berlanjut seterusnya. Awalnya hanya mencoba, setelah itu kembali mencoba kemudian terbiasa dan pada akhirnya tidak bisa lepas. Dunia yang penuh dengan zat-zat adiktif, dunia yang penuh dengan kecanduan. 

Drink it, you drunkard!
Kapan kita akan berhenti jadi kaum hedonis? Kaum yang membuat gap antara si kaya dan si miskin semakin terlihat. Kaum yang begitu bangga bisa membuat orang lain iri. Kesombongan itu datang sebagai suatu prestasi diri. Meski banyak kebohongan di belakangnya, prestasi tetaplah prestasi. Mungkinkah kita bisa kembali ke adat timur, seperti layaknya Indonesia menjadi? Westernisasi sudah melewati modernisasi bangsa dan melampauinya jauh. Tak ada filtrasi untuk paham-paham yang masuk menyeruak otak kita secara intens dan kontinu. Bisakah kita melepas diri? Mampukah kita lebih menghargai hidup dengan menghargai apa yang kita punya dan orang lain?


Yang beropini. 
Aku, Warga Jakarta yang telah bebas dari hedonisme akut.

Hedonisme Jakarta - Faiz Ridhal Malik

Related Articles

0 komentar:

Post a Comment