Mar 7, 2016

Hijaukah Aku?


Ini Baru Awal
Orang memiliki persepsinya masing-masing untuk hidupnya sendiri, bahkan untuk hidup orang lain. Men-judge kehidupan orang lain adalah hal yang asyik untuk dilakukan ketika kita semakin dewasa. Memberi nilai rendah hidup orang lain ternyata enak rasanya dan menjadi adiktif untuk aku yang mengejar nilai duniawi, dan ya, aku pernah melakukannya.

Selepas kuliah dan memakai toga yang penuh euphoria itu, kita pasti berlomba untuk berlari. Seakan dalam posisi start jongkok yang menunggu aba-aba pistol sang wasit dibunyikan dan kemudian lari sekencang-kencangnya. Aku pernah ada di masa itu. Masa dimana aku ingin jadi yang pertama dan terbaik dalam mengejar mimpi. Tapi aku lupa. Lupa bahwa dunia yang sesungguhnya itu lebih kejam dari manisnya dunia anak muda yang pahitnya masih seujung lidah. Ini hidup nyata. Orang lain rela menjilat kotorannya sendiri untuk berada di puncak. Mencium tangan atasan seraya berliur membayangi tahta kerajaan. Dunia ini gila. Sangat tidak waras untuk aku yang masih naif.

Aku kini berada dalam sistem kapitalis yang baku di tengah masyarakat yang dogmatis. Dulu aku membayangkan bahwa istilah nista itu hanya seram dalam buku teks dan teori belaka. Kini, aku berada di dalamnya dan semakin terbuka mata bahwa memang begitu menyeramkan dan mengancam hidup. Mereka yang bebas tetaplah bebas dengan uang-uang basah yang disiram indah yang mengikat di atas kepala kami, kepala para proletariat. 

Berlari dan terus berlari. Berlari sampai tersadar bahwa aku ada di dalam suatu sistem. Sistem yang membuat kita mengejar apa yang mereka-mereka inginkan dan melupakan apa yang aku selama ini impikan. Dunia itu kejam, dan ini barulah awal.

Mimpinya Adalah Mimpiku Juga
"Sekarang begini saja, kita selaraskan apa yang kamu ingin raih dan apa yang aku ingin lakukan", setidaknya itu yang ingin aku katakan pada para pemodal untuk disepakati berdua. Menyamakan mimpi menurutku adalah win-win solution untuk kami, bahkan kita. Aku rela membuatmu berjaya jika aku bisa merdeka. Aku hanya perlu berkecukupan dalam hidup dan tidak ingin lagi terkungkung oleh sistem dan stigma lucu. Meskipun aku juga punya mimpi, tapi untuk sekarang bolehkah aku mempelajari bagaimana roda kehidupan berjalan? Aku sedang mengambil ancang-ancang untuk bisa berlari dan melompat lebih cepat.  Ya, suatu saat aku akan berterima kasih padamu untuk batu tinggi dan kasar yang kamu hadapkan di depan wajahku.

Wajah berarti wajah. Batu itu akan aku poles menjadi tiang tinggi yang mulus dan bertugu emas seperti monumen di tengah ibukota. Tapi batu itu tetap saja harus aku panjat dengan peluh dan upayaku tidak berbeda dari sebelumnya, tetap sama. Dalam lomba lari ini kita semua sama-sama mengitari hal yang sama dalam sebuah alur pasti. Yang jadi pertanyaan, siapa yang akan "terlihat" menjuarai perlombaan? Siapakah yang benar-benar memenangi perlombaan? Atau bahkan, apakah ini semua memang benar sebuah perlombaan? Jikalau iya, sebenarnya dengan siapa kita berlomba?

Aku Belum Hijau dan Dia Juga
"Sadarlah, Faiz. Dulu kau pernah bergunjing pada kehidupan orang lain. Sesekali kau mendongak di atas dongakan orang lain. Untuk sesaat kau seakan menang dari "perlombaan". Sadarkah kau, Faiz? Itu semua hanyalah menang dalam maya mu!", pikirku dalam renung. Rumput tetangga terlihat selalu lebih hijau. Lantas, apakah kebunku yang layu ini sudah hijau? Belum! Semua kebun itu sama dan akan tetap sama dari bagaimana kamu merawatnya! Rumput tetanggamu itu harus dilempari kotoran kambing dan tumpukan cacing agar mampu menjadi hijau dan sedangkan aku ingin menghijau hanya dengan sinar matahari.

Doaku kini bukan untuk menjadi hijau, tapi untuk dilempari kotoran dan dihampiri gerombolan cacing penggembur tanah. Tak apa. Bring it on! Jika suatu saat aku merasa jijik dan geli, tampar aku untuk sadar dan kembali menjadi hijau dengan kehendak dunia dan penciptanya. Selama rumput ini mengijau dengan indah,  Kamu bukan hijau yang aku impikan, tapi aku akan hijau dengan caraku.



Hijaukah Aku? - Faiz Ridhal Malik

Related Articles

0 komentar:

Post a Comment